Daisypath Anniversary tickers

Aug 2, 2010

CMMI

Kebetulan hari ini ada seseorang yang bertanya tentang CMMI. Mau tidak mau, aku jadi buka-buka lagi pustaka tesisku.

CMMI (Capability Maturity Model Integration) adalah sebuah model yang dicetuskan oleh SEI (Software Engineering Institute), yang berfokus pada peningkatan kualitas proses dalam organisasi.

Sejak tahun 1991, Capability Maturity Models (CMMs) telah dibangun dan dikembangkan untuk berbagai disiplin ilmu, diantaranya adalah pada rekayasa sistem, rekayasa perangkat lunak, akuisisi perangkat lunak, manajemen dan pengembangan beban kerja, serta pengembangan produk dan proses yang terintegrasi. Model-model yang spesifik bagi setiap disiplin ini menyulitkan perusahaan karena perbedaan arsitektur, konten, dan pendekatan diantara model-model tersebut.

Proyek CMMI pada awalnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah penggunaan berbagai CMM tersebut. Tiga model sumber yang digabungkan yaitu:
  1. CMM untuk Perangkat Lunak (SW-CMM) v2.0 draft C
  2. The Systems Engineering Capability Model (SECM)
  3. CMM untuk Pengembangan Produk secara Terintegrasi (IPD-CMM) v 0.98

Kombinasi ketiga model tersebut ke dalam kerangka pengembangan tunggal ditujukan bagi organisasi untuk melaksanakan pengembangan proses dalam lingkup enterprise.

Beberapa keuntungan penggunaan CMMI yaitu:
  1. CMMI menyediakan cakupan siklus hidup produk yang lebih detil daripada produk-produk pengembangan proses lainnya.
  2. Produk-produk CMMI memanfaatkan banyak pelajaran yang diperoleh pada fase pengembangan, perawatan, dan penggunaan model-model sumber.
  3. CMMI memberikan peluang untuk mengeliminasi ‘sumbu kompor’ dan batasan yang biasanya muncul di bagian-bagian yang berbeda dalam organisasi.
  4. CMMI memungkinkan pengguna memilih representasi model yang paling sesuai dengan sasaran-sasaran bisnisnya.

[Chrissis, Mary Beth. Mike Konrad, dan Sandy Shrum. (2003): CMMI: Guidelines for Process Integration and Product Improvement. Addison-Wesley.]

Jul 25, 2010

Encouragement

Oleh Rhenald Kasali

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellent) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali.Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji.Ada apa?Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti”, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!”Dia pun melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat”, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam.Saat ujian doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan kebaikan itu ada udang di balik batunya.Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat : karakter yang membangun, bukan merusak.Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut.“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan atau rasa takut?Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman : gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman : Awas...; Kalau...; Nanti...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di pihak lain dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.Temuan- temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi ada juga orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Sumber : Sindo, Kamis 15 Juli 2010.

Jul 19, 2010

43 bulan.. (ringkasan berita)

Yuhuuu..

Setelah sekian lama larut dalam berbagai peristiwa kehidupan, pagi ini tiba2 inget bahwa aku punya tempat curhat yg menyenangkan ini. Iya, catatanpk, yg beberapa hari lalu genap berumur 43 bulan. Kusebut menyenangkan, karena tidak akan pernah protes, apapun yg kutulis dan bagaimanapun baik/buruknya kami menulis. Bahkan, hampir 6 bulan kami nggak nulis apapun pun, si blog teh pasrah2 aja.

Karena temanya adalah kembali menulis, maka boleh dong kalau diawali dengan menulis hal-hal ringan, sekedar update berita tentang keluarga kami.



Berikut ini adalah 3 random top news dari kami:
1) Telah lahir dengan selamat putri pertama kami: Theresia Gendis Putri Kusuma.
Tanggal 26 Februari 2010 pukul 23.10 WIB, si cantik yg telah ditunggu2 oleh seluruh kerabat dan sahabat lahir dengan selamat. Terima kasih kepada dr. Maximus dan tim yang telah membantu proses persalinan, serta Mas Guntur yang mendampingi selama prosesi berlangsung. Tanpa kesakitan yang berlebihan, tanpa drama yg menegangkan, Gendis lahir dalam keadaan sehat. Sampai hari ini, peristiwa bahagia ini tetap menjadi anugerah terindah yg tidak dapat terlukiskan dengan kata2.

2) Ima sudah berhasil menyelesaikan tesis dan lulus bulan Maret 2010. Mas Guntur? Segera menyusul..
Tepatnya, sebelas hari setelah melahirkan, aku disidang di hadapan Pak Endro sebagai pembimbing, bu Ayu dan bu Harlili sebagai penguji. Awalnya, Pak Pembimbing menjadwalkan tgl 9 Maret. Karena takut keburu melahirkan, aku minta dipercepat jd tgl 2 Maret. Ternyata, Gendis tetep ga mau ikut sidang dan memilih untuk lahir duluan. Jadi.. jadwal sidang kembali ke rencana awal, alias tgl 9 Maret. Hehe. Sidang berjalan lancar, tidak sampai 1 jam. Puji Tuhan, semua lancar dan aku berhasil ikut wisuda bulan April 2010.

3) Meski tertunda hampir 1 tahun, akhirnya kami sempet jalan2 juga ke Malay-Sing.
Nggak diniatin bulan madu, sih. Tapi sepertinya sih sudah lebih dari cukup untuk melunaskan hutang bulan madu. Dulu belum sempet bulan madu, sudah dinyatakan hamil, sih. Hehehehe. Pengen banget ngajak Gendis, tp tidak memungkinkan karena baru berumur 2 bulan. Gapapa deh, lain kali pasti diajak kl dia udah sanggup perjalanan jauh.

Sekian sekilas info tentang ringkasan perjalanan hidup kami beberapa bulan terakhir. Semoga dapat memberi semangat untuk terus berbagi. :)

Jan 24, 2010

Tesis

Salam jumpa kembali!
Akhirnya setelah sekian lama vakum nulis di blog ini, kami bisa kembali lagi untuk menceritakan hal-hal yang mengisi dan melengkapi kehidupan kami. Meskipun saat-saat ini kami sedang disibukkan dengan banyak sekali agenda, yang utama ada 2 (dua), yaitu: mengerjakan tesis dan menunggu kelahiran anak pertama kami!
Yup, antara senang, gembira, capek, was-was, campur aduk lah! Satu hal yang pasti harus dijaga adalah kesehatan! Jangan sampai sakit, soalnya kalau sudah sakit, mau ngapa2in rasanya maleeesssss...
Tesis, ya, ini pekerjaan yang wajib dilakukan oleh kami berdua untuk segera mengakhiri pendidikan magister kami. Memang berat, tapi harus dilaksanakan meskipun progressnya sedikit0sedikit, paling tidak ada progres yang kami buat. Untuk menggambarkan kesibukan kami, kebetulan nemu gambar karikatur yang cocok, ini gambarnya:

Photobucket