DESEMBER 2006, Dan Tapscott dan Anthony D. Williams menghangatkan wacana teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Keduanya meluncurkan buku Wikinomics: How Mass Collaboration Changes Everything. Sepanjang 2007, buku ini menjadi bahan pembicaraan di ratusan seminar, dan ulasan di berbagai media massa di dunia. Menjadi bahasan menarik, karena Tapscott menyadarkan dunia bahwa di masa depan, peran institusi bisnis, maupun sosial akan berkurang, dan mendapat tantangan dari para individu yang menguasai TIK.
Tapscott memberikan beberapa contoh, bagimana institusi bisnis diselamatkan oleh individu. Perusahan tambang Kanada GoldCorp, misalnya, kehilangan akal untuk menafsirkan peta potensi tambang emas yang mereka miliki sejak 1948. Litbang GoldCorp yang terdiri dari para geolog ulung, menyerah kalah ketika diminta menghitung potensi emas, maupun mencari metoda eksploitasinya. Sang CEO, Rob McEwen, terinspirasi oleh Linus Thorvald (pencipta Linux), akhirnya membuka kesempatan bagi siapa pun di luar GoldCorp untuk menafsirkan peta ini. McEwen menggunakan strategi kolaborasi.
Tidak terlalu lama, ribuan orang melalui internet memberikan masukan-masukan. Ada geolog, militer, ahli intelijen, sampai anak kecil yang memberikan ide melalui internet. Akhirnya GoldCorp selamat dari kebangkrutan. Kini, setiap satu dolar yang ditanam GoldCorp pada 1990, pada 2006 sudah menghasilkan 3000 dolar. Saham perusahaan ini pun naik.
Tidak hanya GoldCorp. Perusahaan-perusahaan lain pun kini banyak yang mengandalkan individu mapun institusi di luar perusahaan itu untuk melakukan proses produksinya. Sebut saja Nestle, Protect and Gamble, Nike, Telkomsel (untuk Nada Sambung Pribadi NSP 1212), dan lain-lain. Bahkan Britney Spears pun ketika akan memproduksi albumnya, dengan rendah hati meminta masukan kepada para penggemarnya tentang lagu apa yang seharusnya ia nyanyikan, tentan penari latarnya, dan sebagainya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa, sejak saat sekarang, tidak boleh lagi ada institusi yang tinggi hati. Mereka harus mengubah paradigma tentang konsumen. Para konsumen bukan lagi sebagai orang yang bisa dicekoki hasil pemikiran institusi. Institusi harus lebih rendah hati lagi. Konsumen atau rakyat harus dianggap sebagai mitra yang berarti (valued partner). Bahkan Harvard Business School sudah mencanangkan pesan bahwa konsumen adalah si pemberi ide (consumer as innovator).
Ke depan, model kolaborasi ini yang akan terjadi, yang oleh Tapscott disebut sebagai Wikinomics. Di masa mendatang, individu-individu yang punya kemampuan TIK, akan lebih banyak diundang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Para individu ini akan dilibatkan dalam empat sharing: process sharing, profit sharing, cost sharing, bahkan pain sharing. Banyak situs yang mengundang siapa pun untuk menyumbangkan pemikiran. Untuk industri misalnya www.Innocentive.com mengundang setiap pihak untuk memberikan inisiatif, dan pemecahan terhadap persoalan industri. Tentu dengan janji imbalan yang menggiurkan.
Tentu saja individu yang berhak ikut dalam empat sharing ini adalah individu yang tidak hanya sekadar konsumen informasi, tetapi juga mereka yang perilakunya sudah menjadi produsen informasi, atau dalam bahasa Tapscott disebut dengan prosumen, yaitu produsen sekaligus konsumen informasi. Mereka adalah orang-orang yang akan menjadi tulang punggung sosial ekonomi berbasis TIK.
Persoalan individu aktif ini bukan hal yang mencemaskan bagi Indonesia. Ternyata ribuan anak muda sudah melakukan kegiatan-kegiatan prosumen. Industri kreatif, misalnya, adalah bentuk prosumen. Anak-anak muda di Bandung sudah membuktikan itu. Melihat perkembangan dunia seperti itu, plus potensi Indonesia, maka terbentanglah sebuah harapan baru.
Posisi Indonesia dalam penggunaan internet (internet user) cukup menggembirakan. Menurut Internet World Satitistics (www.internetworldstats.com), pada 2007 ini dari 20 negara teratas penggunaan teknologi maya ini, Indonesia berada di urutan 14.
Pada tahun 2000, pengguna internet di Indonesia hanya 2 juta orang. Dengan demikian, hingga 2007 ini, pertumbuhan pengguna mencapai 900%. Dengan jumlah user yang 20 juta ini, berarti hanya 8,9% dari jumlah penduduk. Padahal, untuk disebut sebagai negara dengan ekonomi berbasis teknologi informasi, sedikitnya 40% penduduk harus bisa menggunakan internet.
Dari segi infrakstrukut, pemerintah memang berambisi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap TIK. Tahun 2009, pemerintah menargetkan sambungan telepon per 100 penduduk sebesar 13%. Di lain pihak, penetrasi telepon seluler sudah lebih dari 22,8%. Diperkirakan tahun 2007 ini ada 80 juta nomor telepon seluler. Melalui program USO (universal service obligation) atau Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal Telekomunikasi, merupakan penyediaan akes dan layanan telekomunikasi di daerah terpencil. Pendanaannya berasal dari kontribusi 0,75% dari pendapatan kotor seluruh penyelenggara telekomunikasi. Dengan USO, diharapkan pada 2010 seluruh desa memiliki minimal satu jalur telepon. Sedangkan pada 2015, 50% desa di seluruh Indonesia bisa mengakses internet (smart village).
Pemerintah juga akan membangun jaringan serat optik Palapa Ring sebagai tulang punggung (backbone) sistem telekomunikasi nasional. Palapa Ring merupakan jaringan kabel bawah laut berbentuk cincin terintegrasi dengan panjang 25.000 km membentang dari Sumatera Utara hingga Papua bagian barat. Dengan Palapa Ring, hambatan informasi di Indonesia timur akan diterabas. Selain itu, pemerintah juga akan membangun Worldwide Interoperability for Microwave Access (Wimax). Dengan Wimax, masyarakat bias mengakses internet di manapun dia berada secara nirkabel (broadband wireless access).
Semua hal di atas baru sebatas pembangunan infrakstrktur TIK. Sasaran-sasaran fisik tersebut sangat mungkin tercapai. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita bisa menyiapkan individu Indonesia agar mereka menjadi orang-orang yang tidak hanya menjadi konsumen informasi, akan tetapi juga produsen informasi. Maka di sinilah letak pentingnya pendidikan melek TIK (ICT Literacy). ICT literacy tidak sebatas memperkenalkan fisik TIK, maupun produk dan program-programnya. Pemerintah, lembaga pendidikan, maupun lembaga swadaya masyarakat harus ikut aktif melakukan ICT di berbagai komunitas, dengan paradigma utama menciptakan prosumen informasi.
ICT literacy dengan paradigma prosumen inilah yang sayangnya belum dirumuskan di lembaga-lembaga pendidikan kita. Ada 476 perguruan tinggi (PT) yang menyelenggarakan program informatika. Selain itu, 136 PT menyelenggarakan program/fakultas komunikasi dengan lulusan per tahun sekitar 25.000 orang. Fakultas-fakultas komunikasi di PT masih bergelut dengan teori-teori komunikasi lama dengan paradigma media massa. Padahal, sekarang media personal sudah berkembang jauh dengan jumlah yang melebihi media massa. Tidak hanya itu, PT kita tertinggal dalam pengkajian soal ekonomi digital, hukum digital dan lain-lain.
Sudah saatnya PT menoleh ke publik dengan mengembangkan kurikulum ICT yang berorientasi kerakyatan. ICT literacy sangat penting. Sebab, andaikata 40% saja penduduk Indonesia sudah melek internet, itu berarti sekitar 100 juta orang. Dan jika saja dari 100 juta itu, seperempatnya adalah prosumen, maka mereka ini akan menjadi tulang punggung sosial ekonomi negara. Mereka akan ikut dalam setiap proses sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Jika ini yang terjadi, maka Indonesia bisa melakukan lompat katak, menjadi negara termaju di dunia!
Last but not least. Seperti yang diamanatkan Dan Tapscott, ketika individu sudah menguasai TIK, maka institusi, baik industri, PT, bahkan negara sekali pun harus menghormati individu. Rakyat tak boleh lagi dianggap sosok yang harus dicekoki dogma-dogma lembaga. Prinsip bahwa rakyat adalah mitra berharga (valued partner), rakyat adalah inovator, sikap sederajat (peer), egalitarianisme dan keterbukaan (openess) adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan TIK. Jika tidak mau disadari, hanya dengan beberapa ribu rupiah saja untuk biaya ke warnet, rakyat bisa menunjukkan betapa tololnya sebuah lembaga.
(this article is edited version of "Takhta Dunia di Tangan Penguasa IT," Pikiran Rakyat, Dec 27, 2007)
No comments:
Post a Comment